Dakwah Pedalaman

Dari pernikahan

Sungguh indah skenario Allah mengantarkanku sebagai hamba berbalut kesyukuran akan karunianya dalam menapaktilasi medan dakwah. Pada tahun 1962 saya menikah dengan pemuda pilihan Allah Subhanallahu Wata’ala. Tahun 1971 suami membawa saya merantau ke Pulau Kalimantan, di wilayah yang masih hutan karena sudah menjadi tekad bagiku untuk senantiasa ikut dan taat kepada suami.
Selain itu, ajakan ini adalah salah satu wasilah untuk meraih ridha Allah Subhanahu Wata’ala, berjuang bersama di medan dakwah melalui salah satu lembaga, yang saat itu masih dalam perintisan awal. Tempatnya masih hutan penuh semak belukar.Kegoncangan seorang istri pun hadir ketika lima bulan berlalu hidup tanpa bersama suami. Kala itu saya ditinggal suami yang bergi bertugas membuka wilayah di Berau. Seorang diri, menghidupi membantu logistik kebutuhan sekitar 30 santri. Sementara kabar dari suami tidak kunjung datang.
Bahkan kabar keselamatan atau kematiannyapun tidak ada. Saya mulai resah dan khawatir ketika anak-anak semakin sering menanyakan keberadaan bapaknya. Keresahan ini akhirnya sampai ke telinga pimpinan. Beliau akhirnya mengizinkan saya pergi mencari suamimu di Berau.

Kuli Penggiling Kopi
Saya berangkat dengan bertawakkal pada Allah. Saya berazzam bersiap untuk dapat menemukannya, baik hidup atau pun mati. Padahal, kala itu tidak ada sama sekali biaya. Jangankan biaya, alamat detail keberadaan suami pun tidak ada.
Saya berangkat bersama seorang putra, sedangkan kedua putra lainnya dititipkan di rumah mertua. Perjalanan panjang dengan kapal laut selama 3 hari 3 malam. Lelah menyatu, namun tidak menyurutkan langkah saya.
Dengan tubuh ringkih dan uang seadanya, saya bertanya ke setiap pemilik kapal yang hendak berlayar, “Apakah saya boleh ikut ke Berau?” Mereka memberikan solusi, hanya bisa menumpang kapal barang jika tak memiliki uang.
Merasa ada harapan, sembari menunggu datangnya kapal barang, saya mencari pekerjaan agar bisa bertahan hidup. Menumpang di rumah orang sambil menjadi kuli menumbuk kopi dan mencuci baju.

Setiap hari, ketika menumbuk kopi, saya terus menatap lautan menanti munculnya kapal barang. Itu saya lakukan dari pagi sampai malam. Begitulah hari-hari berlalu, menanti dan terus menanti. Setelah beberapa bulan berlau, akhirnya datang kabar tentang keberadaan suami. Dengan izin Allah, akhirnya selama satu hari satu malam saya bisa berlayar menuju ke Berau. Di tengah jalan, cobaan perih menimpa. Anakku muntah darah saat terombang ambing di atas kapal. Di saat-saat seperti ini, saya berharap kekuatan oleh Allah untuk segera menemukan bapaknya.

Akhirnya kapal tiba di pelabuhan Berau. Saya beristirahat di rumah pemilik kapal. Melihat kondisi saya yang memprihatinkan, pemilik kapal menanyakan tujuan saya. Alhamdulillah, secercah harapan datang ketika bapak tersebut mengatakan akan menanyakan seseorang yang sering membawa atap perahu ke Sukang. Akhirnya, atas kehendak Allah, pemilik kapal ini menemukan saya dengan salah satu murid suami. Alhamdulillah wa syukurilah. Inilah hadiah Allah Subhanahu Wata’ala, begitu bersyukurnya diri ini. Allah akhirnya membantu menemukan suamiku.

Kehadiran saya disambut para santri dan jamaah suami. Sosok yang kurindukanpun muncul dari balik kerumunan dengan kondisi memprihatinkan, tubuh kurus dan penuh luka, serta koreng. Anak saya pun berlari menuju bapaknya dan memeluknya erat. Suamiku pun berjalan ke arahku, yang sedang dalam perasaan campur aduk serta belum begitu yakin telah bersua dengan sang suami. Sungguh indah skenario Allah mengantarkanku sebagai hamba berbalut kesyukuran akan karunianya kepada saya dalam menapaktilasi medan dakwah perintisan ketika ekspansi di berbagai daerah.*/Sahlah al-Ghumaishaa’, disarikan dari wawancara Umi Athiyah